Tak Bayar Retribusi, Sanksi Tegas Menanti
Perda Pungutan Retribusi Perusahaan IUPK Dalam Tahap Penyusunan

Prolog.co.id, Samarinda – Produk hukum yang mengatur Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) untuk mengutip retribusi dari penghasilan bersih perusahaan pertambangan kini tengah disusun. Dalam draft itu juga akan mengatur sanksi tegas bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang tak patuh.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Timur, Munawar menegaskan jika dalam produk hukum yang masih dalam penyusunan itu juga menyisipkan sanksi tegas. Mulai dari sanksi administrasi, denda hingga pencabutan izin usaha.
“Ini masih disusun dan akan dibahas. Ada sanksinya bagi perusahaan yang melanggar,” sebutnya.
Bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran retribusi maka akan dikenakan teguran terlebih dahulu. Namun, jika teguran tersebut masih diabaikan maka akan dikenakan denda sebesar dua persen dari nilai retribusi yang harus dibayarkan.
“Besaran dua persen itu kalau ada keterlambatan, seabagai unsur sanksi yang akan dimasukkan di dalam rancangan,” tegas Munawar.
Tak hanya berupa sanksi denda, Dinas ESDM juga akan menyisipkan sanksi tegas berupa pencabutan izin usaha perusahaan yang melanggar pembayaran retribusi.
“Sanksi tegas lainnya, kalau itu (retibusi) masih tidak dibayarkan maka akan dicabut izinnya,” tambahnya.
Baca juga berita terkait sebelumnya : Wacana Pemprov Kaltim Memungut Retribusi Pemegang IUPK Pertambangan
Untuk diketahui, Pemprov Kaltim berencana memungut retribusi perusahaan pertambangan berstatus IUPK. Langkah ini sebagai upaya dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ekonomi unggulan Benua Etam. Dan, sebagai jawaban atas dana bagi hasil (DBH) pemerintah pusat ke daerah yang dirasa masih sangat kecil. Sebab, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), seluruh perizinan diboyong ke pemerintah pusat. Adapun untuk besaran DBH hanya sebesar enam persen. Besaran tersebut dianggap tak sesuai dengan resiko dan dampak akibat eksploitasi pertambangan di daerah.
Sementara itu, untuk besaran retribusi yang dibayarkan nanti bergantung dari keungtungan perusahaan dan hasil audit keuangan yang dilakukan akuntan publik.
Kembali ke Munawar. Dirinya menerangkan jika produk hukum yang mengatur pungutan retribusi perusahaan pertambangan IUPK telah rampung, pungutan retribusi akan dilakukan secara berjenjang. Melihat dari tahun terbitnya izin pertambangan yang dimiliki setiap perusahaan yang ada.
“Tidak semuanya IUPK yang sudah terbit itu dieberlakukan, tapi dilihat dari tahunnya. Kalau sekarang semisal KPC tahun 2021, berarti pada 2022 akan kita tagihakan untuk tahun 2023. Dua-duanya tetap ditagih tapi untuk 2023-nya baru ditanyakan,” tukasnya.
(Redaksi Prolog)
Ikuti berita prolog.co.id lainnya di Google News